Wawancara Jurnalistik

Wawancara selalu terkait dengan jurnalistik, sepenuhnya baik dalam teori atau pun praktek. Bahkan diketahui kemenarikan yang didapat dari wawancara tersebut adalah mendapat hasil liputan berita mengenai hal yang dikemukakan kepada masyarakat bersifat fakta atau pendapat. Jika wawancara dan jurnalistik selalu terhubung dengan pemberitaan dan khalayak luas, bukan berarti dapat menutup kemungkinan pengolahan bahasa menjadi kesan secara langsung.

Wawancara jurnalistik selalu mengambil pesan dalam pemberitaan sebagai jual beli produk jurnalistik yang menghancurkan kekokohan lembaga atau organisasi dari wawancara tersebut. Merasa gagalnya dalam mewawancarai, biasanya disebabkan banyaknya sumber teori dan praktek secara bertahap yang selalu bergantung dengan waktu. Seharusnya dari kata journalistik yang secara etimologis du jour (sebuah catatan harian) diketahui bahwa sebuah wawancara dan jurnalistik ini merupakan pemberitaan yang dilakukan harian/setiap hari sesuai dengan bahan berita menarik yang diperbincangkan masyarakat khalayak luas.

Wawancara jurnalistik harus dapat menggali tema dari berita melalui kesan, pendapat, atau pikiran menarik dari informan berita wawancara menghubungkan antara fakta dan opini yang menjadikan berita semakin hidup atau tidak membosankan. Wawancara bukan hanya bagaimana memberi pertanyaan sebanyak-banyaknya dan menggali seluas-luasnya. Namun hal utama yang diperlukan adalah pembawaan rasa nyaman antara narasumber yang didapat dari pewawancara tersebut, lebih baik jika pewawancara lebih mengenal narasumber dengan mencari data riwayatnya. Berusahalah untuk menembus dan menggali narasumber yang memberikan kemampuan dalam kesuksesan sebagai seorang jurnalis.

FEATURE

Feature, mungkin menurut orang yang awam tentang dunia jurnalistik baru pertama denger dan ga tw tuh kegunaanya dan daya tarik dari feature itu sendiri.

Feature adalah gaya tulisan dari yang target utamanya adalah memberikan hiburan. Jadi penulisan itu sendiri tidak terikat oleh bahasa baku atau formal, kemenarikan bahasa yang ditunjukkan oleh seorang jurnalis dengan memasukan gaya hidup yang sesuai zaman (pergaulan kata2 yang unik, baik yang didapat dari luar negara atau negara itu sendiri, dikalangan remaja atau dunia bebas pergaulan).

Feature lebih menitikberatkan dengan mengutarai tulisan menjadi lebih ringan, dengan suasana bahasa yang penuh warna (seperti itulah…!). walaupun begitu, pemakaian feature lebih sering digunakan untuk sumber berita yang masuk dalam peristiwa, kejadian, gagasan, atau pun yang menyangkut fakta. Jadi pemberitaan dengan feature tidak pernah kering dan biasanya sebagai bumbu penyedap.

Nah itulah yang saya dapat dari pengertian feature. Ini saya dapatkan dari sebuah pelatihan jurnalistik di jakarta. Selamat membaca !

Menikmati Hujan...

Dari kecil anggapan itu selalu muncul, aku percaya bahwa hujan bukanlah satu-satunya

yang membuat aku sering sakit. Dahulu, walaupun aku sering sekali bermain hujan-

hujanan tetapi tidak pernah yang mengakibatkan aku sakit panas seperti yang

ditakutkan oleh semua orang atau orang tua kita. Karena dengan menikmati hujan, tak

akan ada rasa sakit baik itu panas atau masuk angin. Aku percaya itu bahkan

sahabatku juga mempercayai itu, asalkan menikmati hujan pasti tidak ada rasa sakit

yang akan menyergap. Mungkin itulah yang membuatku betah menikmati hujan,

bermain-main genangan air yang mengumpul di jalanan yang terdapat lubangan cekung.

Hari demi hari dan sedari diriku sudah dewasa kekuatanku untuk menikmati hujan sudah

berbeda, aku merasakan bahwa betapa menderitanya bila terkena hujan. Itu berbeda

dari diriku saat itu yang mempercayai bahwa hujan bukanlah mendatangkan penyakit

untukku.

Saat ini aku percaya bahwa hujan dapat mengetahui ketidak tenangan atau kesedihan

yang kita rasakan. Asalkan menikmati hujan dengan senyum, namun banyak pikiran yang

tertuju dan melayang pada masalah yang selalu kita pikirkan, belum lagi ketakutan

kita pada hujan atau malu bermain-main hujan-hujanan jadi kefokusan kita untuk

bermain hujan hilang, karena pikiran yang tak menentu.

Itulah bedanya, mengapa lebih enak bermain hujan disaat kita masih kecil. Karena

kita hanya terfokus dengan suasana hujan yang tak ada pikiran untuk memikirkan

masalah yang belum dialami oleh anak-anak. Ketika telah dewasa rasanya sulit sekali,

menikmati hujan seperti masa-masa kecil.

Renungkanlah !!!

Jika Aku yang Meminta
Justru Aku Tak Berharap



Dari kertas yang kuremas hingga berbentuk bola kecil. Semua kutuliskan dari semua

yang ada padaku, baik itu yang sempurna atau dicampur oleh banyak warna hingga

menjadi yang tak sempurna. Dari berbaris-baris permintaanku pada bumi yang tanahnya

sebagai penyempurnaannya hingga tak mungkin manusia tidak menginjaknya. Namun dalam

sendiri dan tangan yang gemetar seakan-akan tak patut aku menulis semua permintaan

itu. Hingga aku seakan tak pernah berharap dari semua permintaan itu akan ada dan

hidup pada diriku, dari hal termudah sampai hal tersulit. Aku merenung dengan kertas

berbentuk bola ini yang kugenggam, mungkinkah aku dapat melakukannya ?

Sepatutnya aku manusia yang membutuhkan bantuan oleh sesamanya. Apalah daya hingga

aku justru semakin tak patut meminta bantuan padanya. Manusia sekarang bukanlah

dahulu, yang hanya sibuk untuk hidupnya sendiri. Bahkan melupakan dirinya sebagai

penolong sesamanya, sebagai pemberi jalan keluar untuk setiap jalan pada sesamanya,

apa yang mereka pikirkannya untuk jalannya saja hingga mereka melupakan alam sebagai

penyempurna hidupnya. Hingga mereka disibukkan dengan hal yang tak berguna, padahal

waktu adalah penyempurna bagi perubahan hidupnya.

Kemanakah jiwa empati mereka, dimana rasa kasih sayang yang seharusnya tumbuh pada

semua manusia. Apakah yang menjadikan bumi menumpahkan kemarahannya ?

Hingga banyak darah yang tak mengalir lagi,dan nyawa banyak yang terlepas. Tak ada

yang dapat menyingkir sekalipun manusia itu yang paling kuat di dunia. Kini mulailah

merenung bahwa manusia adalah tanah yang dapat diinjak oleh tanah (manusia). Itu

artinya manusia merendahkan dirinya hingga derajat paling rendah, disebabkan rasa

solidaritasnya dan keikhlasannya untuk membantu manusia sebagai ungkapan bahwa

manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan piciknya manusia itu sendiri.