Jika Aku yang Meminta
Justru Aku Tak Berharap
Dari kertas yang kuremas hingga berbentuk bola kecil. Semua kutuliskan dari semua
yang ada padaku, baik itu yang sempurna atau dicampur oleh banyak warna hingga
menjadi yang tak sempurna. Dari berbaris-baris permintaanku pada bumi yang tanahnya
sebagai penyempurnaannya hingga tak mungkin manusia tidak menginjaknya. Namun dalam
sendiri dan tangan yang gemetar seakan-akan tak patut aku menulis semua permintaan
itu. Hingga aku seakan tak pernah berharap dari semua permintaan itu akan ada dan
hidup pada diriku, dari hal termudah sampai hal tersulit. Aku merenung dengan kertas
berbentuk bola ini yang kugenggam, mungkinkah aku dapat melakukannya ?
Sepatutnya aku manusia yang membutuhkan bantuan oleh sesamanya. Apalah daya hingga
aku justru semakin tak patut meminta bantuan padanya. Manusia sekarang bukanlah
dahulu, yang hanya sibuk untuk hidupnya sendiri. Bahkan melupakan dirinya sebagai
penolong sesamanya, sebagai pemberi jalan keluar untuk setiap jalan pada sesamanya,
apa yang mereka pikirkannya untuk jalannya saja hingga mereka melupakan alam sebagai
penyempurna hidupnya. Hingga mereka disibukkan dengan hal yang tak berguna, padahal
waktu adalah penyempurna bagi perubahan hidupnya.
Kemanakah jiwa empati mereka, dimana rasa kasih sayang yang seharusnya tumbuh pada
semua manusia. Apakah yang menjadikan bumi menumpahkan kemarahannya ?
Hingga banyak darah yang tak mengalir lagi,dan nyawa banyak yang terlepas. Tak ada
yang dapat menyingkir sekalipun manusia itu yang paling kuat di dunia. Kini mulailah
merenung bahwa manusia adalah tanah yang dapat diinjak oleh tanah (manusia). Itu
artinya manusia merendahkan dirinya hingga derajat paling rendah, disebabkan rasa
solidaritasnya dan keikhlasannya untuk membantu manusia sebagai ungkapan bahwa
manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan piciknya manusia itu sendiri.